Surga Bali dalam Goresan Huang Fong

Minggu, 13 Mei 2018 - 14:28 WIB
Surga Bali dalam Goresan Huang Fong
Surga Bali dalam Goresan Huang Fong
A A A
BALI dalam goresan Huang Fong, jauh dari hiruk-pikuk modernitas dan berbagai problem sosial, ekonomi, apalagi politik. Menikmati lukisan-lukisan Huang Fong akan terbawa dalam suasana kehidupan Bali tempo dulu, yang teduh, tenang, damai, dan bersahaja.

April lalu, Huang Fong genap berusia 82 tahun. Menandai ulang tahunnya sekaligus 50 tahun lebih perjalanan kariernya, pelukis kelahiran Genteng, Banyuwangi, ini menggelar pameran tunggal di Balai Budaya Jakarta, dengan tajuk "Paradiso 50: Surga yang Tercipta dari 50 Tahun Berkarya". Sebanyak 50 lukisannya dipajang di sini, semuanya tentang Bali, terutama perempuan Bali dengan berbagai pose dan aktivitas kesehariannya.

Agus Dermawan, kurator dalam pameran ini menegaskan, lukisan-lukisan Huang Fong membawa spirit Mooi Indie, menggambarkan Hindia Belanda yang elok-elok, manismanis, serbacantik, dan menawan. "Bisa dikatakan karya Huang Fong sebagai "Mooi Indie Baru" atau manifestasi dari merevitalisasi spirit Mooi Indie. Karya Huang Fong bagai oase di tengah iklim gelisah masyarakat Indonesia yang bertubi-tubi terkena musibah. Karyanya juga ibarat counter reaction terhadap situasi negeri yang terancam porak-poranda," kata Agus.

Sejak awal berkarya hingga pamerannya kali ini, Fong memang banyak melukis kekhasan Bali, terutama perempuan Bali dalam berbagai pose, ada yang sedang duduk, bercengkerama, menenun kain, merangkai sesajian, beternak, menari, bersawah, hingga melakukan ritual atau upacara keagamaan.

Potret perempuan itu tentu dengan pakaian tradisional Bali dan bertelanjang dada, kebiasaan yang saat ini sudah sangat jarang ditemui di Bali. "Di mata saya, perempuan Bali itu luar biasa. Mereka tipe pekerja keras, menghidupi satu keluarga. Yang terdekat dengan saya, itulah yang saya lukiskan. Tentu termasuk gadis-gadis desa, yang sedikit banyak merangsang cinta monyet saya. Ha... ha... ha...," gurau Huang Fong dibincangi di sela pameran tunggalnya.

Bali memang telah menjadi bagian dari hidup pria beranak tiga dan bercucu tiga ini. Pria keturunan Tionghoa ini pertama kali menapakkan kaki di Bali pada 1963 dan mulai menetap di Pulau Dewata itu pada 1967. Fong mengaku jatuh cinta pada Bali karena terkesan dengan kehidupan masyarakatnya yang rukun, toleran, dan kaya budaya.

Di Bali, dia memilih tinggal di Ubud, sebuah desa yang waktu itu mulai banyak ditinggali para seniman luar negeri dan "seniman Jawa" yang sengaja bermigrasi ke Bali. Awal di Bali, Fong belum sepenuhnya melukis. Karena sejak lulus SMA, dia harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari nafkah. Dia sempat bekerja di toko sepeda dan pabrik limun. Sore harinya nyambi bekerja di studio foto hingga larut malam.

Dia juga merasa beruntung bertemu seniman-seniman besar di Bali, seperti OH Supono, Anton Huang, Abdul Azis, Tedja Suminar, dan Ida Bagus Made Poleng. Dia pun cukup dekat dengan Affandi dan Hendra Gunawan. Dari orang-orang tersebut, Fong lalu belajar tentang sikap yang fokus, dan mulai mengembangkan teknik akuarel di atas kanvas, yang kemudian dikenal sebagai gaya khas lukisannya. Tak kurang dari empat tahun dia berekspresi dengan teknik ini.

Penemuan gaya ini menyandingkan teknik Chinese painting yang mengutamakan transparansi, dengan teknik melukis gaya Renaisans, sebagai anak Western art. Teknik ini lalu dipadukan dengan melukis ala Bali, yang kerap menggunakan penelak atau bambu runcing yang dijadikan pena.

Medium yang dia gunakan adalah cat air, tempera, serta tinta di atas kanvas. Kecintaan Fong pada cat air dipengaruhi latar belakang kehidupannya saat bekerja di studio foto, yang kebetulan berkaitan dengan dunia seni rupa. Tugasnya waktu itu adalah mewarnai foto-foto hitam putih.

Saat itu belum ada foto warna, semuanya hitam putih. Di sini dia belajar mengenai bayangan, tekstur kulit manusia, dan karakter benda-benda. Kenangan hitam putih itu terus terekam kuat dalam memorinya, sehingga memengaruhi warna-warna monokromatik lukisannya, dalam sebuah periode panjang. Lukisan cat air biasanya berjodoh dengan kertas.

Namun, Fong berhasil mempertemukan cat air dengan kanvas. Dia sendiri lama bekerja keras dengan teknik dan material ini. Hasil ketekunannya berbuah manis. Lukisan-lukisannya dengan media cat air di atas kanvas diakui banyak pengamat sangat hidup dan tak beda dari lukisan cat air di atas kertas.

"Jika diamati, lukisan Huang Fong ini sangat nyaman di mata. Perpaduan warnanya pas dan banyak ruang nyaman bagi mata yang memandang. Juga objek utama lukisan dengan pemandangan alam sekitarnya saling melengkapi dan mewujudkan harmonisasi. Jadi, tak berlebihan kalau saya menyebut Fong menghadirkan "surga" di setiap karyanya," ujar Agus.

Memahami Huang Fong hari ini, dalam usia yang menapak ke angka 82, adalah memahami kembali tiga variabel penting untuk melihat keutuhan eksistensi seseorang, yakni aspek pikiran, tubuh, dan jiwa. Selama 50 tahun lebih perjalanan kariernya, Fong telah banyak melukis dan segalanya tentang Bali. Fong benar-benar melebur dengan kehidupan Bali.

Karya-karya Fong ulang-alik antara potret, tubuh, panorama, dan kerumunan manusia sebagai bagian dari lanskap (upacara, kehidupan) perdesaan Bali. Fong terus melukis dan memilih model atau objek-objeknya secara selektif, tubuh terus bergerak dengan aktivitas olahraga, dan jiwa terus membangun hubungan baik dengan banyak relasi.

"Selain melukis, Bapak Huang Fong ini juga rutin mengajarkan senam Tai Chi kepada masyarakat di Bali. Pada usianya yang sudah 82 tahun, beliau tetap terlihat bugar bahkan masih sangat produktif berkarya. Relasinya dan kepedulian sosialnya juga sangat luar biasa," kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Bali Hendra A Wasita.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3524 seconds (0.1#10.140)